Minggu, 11 Oktober 2015
#SIP INFORMASI DAN SISTEM INFORMASI PSIKOLOGI (Materi 2)
#SIP ETIKA-ETIKA DALAM MENULIS ARTIKEL ONLINE (Materi 1)
#SIP KOMPUTER DAN STRUKTUR KOGNISI MANUSIA (Materi 3)
Selasa, 21 April 2015
TUGAS PSIKOTERAPI II (Artikel 6)
Terapis harus membawa ke dalam hubungan tersebut sifat-sifat khas yang berikut;
- Menerima. Terapis menerima pasien dengan respek tanpa menilai atau mengadilinya entah secara positif atau negatif. Pasien dihargai dan diterima tanpa syarat. Dengan sikap ini terapis memberi kepercayaan sepenuhnya kepada kemampuan pasien untuk meningkatkan pemahaman dirinya dan perubahan yang positif.
- Keselarasan (congruence). Terapis dikatakan selaras dalam pengertian bahwa tidak ada kontradiksi antara apa yang dilakukannya dan apa yang dikatakannya.
- Pemahaman. Terapis mampu melihat pasien dalam cara empatik yang akurat. Dia memiliki pemahaman konotatif dan juga kognitif.
- Mampu mengkomunikasikan sifat-sifat khas ini. Terapis mampu mengkomunikasikan penerimaan, keselarasan dan pemahaman kepada pasien sedemikian rupa sehingga membuat perasaan-perasaan terapis jelas bagi pasien.
- Hubungan yang membawa akibat. Suatu hubungan yang bersifat mendukung (supportive relationship), yang aman dan bebas dari ancaman akan muncul dari teknik-teknik diatas.
- klien datang ke terapis dalam kondisi tidak kongruensi, mengalami kecemasan, atau kondisi penyesuaian diri yang tidak baik.
- saat klien menjumpai terapis dengan penuh harapan dapat memperoleh bantuan, jawaban atas permasalahan yang sedang dialami, dan menemukan jalan atas kesulitan-kesulitannya. Perasaan yang ada pada klien adalah ketidakmampuan mengetasi kesulitan hidupnya.
- pada awal terapi klien menunjukan perilaku, sikap, dan perasaannya yang kaku. Dia menyatakan permasalahan yang dialami kepada terapis secara permukaan dan belum menyatakan pribadi yang dalam. Pada awal-awal ini klien cenderung mengeksternalisasi perasaan dan masalahnya, dan mungkin bersikap defensif.
- klien mulai menghilangkan sikap dan perilaku, membuka diri terhadap pengalamannya., dan belajar untuk bersikap lebih matang dan lebih teraktualisasi, dengan jalan menghilangkan pengalaman yang didistorsinya.
Tujuan dasar terapi ini kemudian diklasifikasikan kedalam 4 konsep inti tujuan terapi, yaitu;
a. Keterbukaan pada pengalaman
Klien diharapkan dapat lebih terbuka dan lebih sadar dengan kenyataan pengalaman mereka. Hal ini juga berarti bahwa klien diharapkan dapat lebih terbuka terhadap pengetahuan lebih lanjut dan pertumbuhan mereka serta bisa menoleransi keberagaman makna dirinya.
b. Kepercayaan pada organisme sendiri
Dalam hal ini tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya terhadap diri sendiri. Biasanya pada tahap-tahap permulaan terapi, kepercayaan klien terhadap diri sendiri dan putusan-putusannya sendiri sangat kecil. Mereka secara khas mencari saran dan jawaban-jawaban dari luar karena pada dasarnya mereka tidak mempercayai kemampuan-kemampuan dirinya untuk mengarahkan hidupnya sendiri. Namun dengan meningkatnya keterbukaan klien terhadap pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan kilen kepada dirinya sendiri pun mulai timbul.
c. Tempat evaluasi internal
Tujuan ini berkaitan dengan kemampuan klien untuk instropeksi diri, yang berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaannya. Klien juga diharapkan untuk dapat menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
d. Kesediaan untuk menjadi satu proses.
Dalam hal ini terapi bertujuan untuk membuat klien sadar bahwa pertumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses pengujian persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaannya serta membuka diri bagi pengalaman-pengalaman baru, bahkan beberapa revisi.
Manusia dalam pandangan Rogers adalah bersifat positif. Ia mempercayai bahwa manusia memiliki dorongan untuk selalu bergerak ke muka, berjuang untuk berfungsi, kooperatif, konstrukstif dan memiliki kebaikan pada inti terdalam tanpa perlu mengendalikan dorongan-dorongan agresifnya. Filosofi tentang manusia ini berimplikasi dalam praktek terapi client centered dimana terapis meletakan tanggung jawab proses terapi pada client, bukan terapis yang memiliki otoritas. Client diposisikan untuk memiliki kesnggupan-kesangguapan dalam membuat keputusan.
Pendekatan konseling client centered menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian,dan hakekat kecemasan. Menurut Roger konsep inti konseling berpusat pada klien adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri.
Terapi berpusat pada klien (Client Centered Teraphy) merupakan salah satu teknik alternatif dalam praktik pekerjaan sosial, terutama bagi terapis yang tidak begitu menguasai secara baik beberapa teori dan praktik pekerjaan sosial, walaupun begitu bukan berarti tanpa tantangan dan keahlian yang spesific. Beberapa teori dan praktik pekerjaan yang bersifat dasar tetap menjadi kebutuhan mutlak dalam teknik terapi ini. Tulisan ini akan berusaha menjelaskan tentang latarbelakang historis terapi client centered, beberapa asumsi dasar, prinsip, tujuan dan teknik serta proses terapi client centered.
CLIENT CENTERED (KONSELING BERPUSAT KLIEN) – Model konseling berpusat pribadi dikembangkan oleh Carl R. Rogers. Sebagai hampiran keilmuan merupakan cabang dari psikologi humanistik yang menekankan model fenomenologis. Konseling person-centered mula-mula dikembangkan pada 1940 an sebagai reaksi terhadap konseling psychoanalytic. Semula dikenal sebagai model nondirektif, kemudian diubah menjadi client-centered.
Carl R. Rogers mengembangkan terapi client-centered sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Terapis berfugsi terutama sebagai penunjang pertumbuhan pribadi seseorang dengan jalan membantunya dalam menemukan kesanggupan-kesanggupan untuk memecahkan masalah-masalah. Pendekatan client centered ini menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan seseorang untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri.
b. Ciri-Ciri Pendekatan Client Centered
Berikut ini uraian ciri-ciri pendektan Client Centered dari Rogers :
- Client dapat bertanggungjawab, memiliki kesanggupan dalam memecahkan masalah dan memilih perliku yang dianggap pantas bagi dirinya.
- Menekankan dunia fenomenal client. Dengan empati dan pemahaman terhadap client, terapis memfokuskan pada persepsi diri client dan persepsi client terhadap dunia.
- Prinsip-prinsip psikoterapi berdasarkana bahwa hasrat kematangan psikologis manusia itu berakar pada manusia sendiri. Maka psikoterapi itu bersifat konstrukstif dimana dampak psikoteraputik terjadi karena hubungan konselor dan client. Karena hal ini tidak dapat dilakukan sendirian (client).
- Efektifitas teraputik didasarkan pada sifat-sifat ketulusan, kehangatan, penerimaan nonposesif dan empati yang akurat.
- Pendekatan ini bukanlah suatu sekumpulan teknik ataupun dogma. Tetapi berakar pada sekumpulan sikap dan kepercayaan dimana dalam proses terapi, terapis dan client memperlihatkan kemanusiawiannya dan partisipasi dalam pengalaman pertumbunhan.
tiga ciri atau sikap terapis yang membentuk bagian tengan hubungan teraputik :
Pertama, Keselarasana/kesejatian. Konsep kesejatian yang dimaksud Rogers adalah bagaimana terapis tampil nyata, utuh, otentik dan tidak palsu serta terinytgrasi selama pertemuan terapi. Terapis bersikap secara spontan dan terbuka menyatakan sikap-sikap yang ada pada dirinya baik yang positif maupun negatif. Terapis tidak diperkenankan terlibat secara emosional dan berbagi perasaan-perasaan secara impulsive terhadap client. Hal ini dapat menghambat proses terapi. Jelas bahwa pendekatan client centered berasumsi bahwa jika terapi selaras/menunjukkan kesejatiannya dalam berhubungan dengan client maka proses teraputic bisa berlangsung.
Kedua, Perhatian positif tak bersayarat. Perhatian tak bersayarat itu tidak dicampuri oleh evaluasi atau penilaian terhadap pemikiran-pemikiran dan tingkah laku client sebagai hal yang buruk atau baik. Perhatian tak bersyarat bkan sikap “Saya mau menerima asalkan…..melainkan “Saya menerima anda apa adanya”. Perhatian tak bersyarat itu seperti continuum. Semakin besar derajat kesukaan, perhatian dan penerimaan hangat terhadap client, maka semakin besar pula peluang untuk menunjung perubahan pada client.
Ketiga, Pengertian empatik yang akurat. Pada bagian ini merupakan hal yang sangat krusial, dimana terapis benar-benar dituntut untuk menggunakan kemampuan inderanya dalam berempati guna mengenali dan menjelajahi pengalaman subjektif dari client. Konsep ini menyiratkan terapis memahami perasaan-perasaan client yang seakan-akan perasaanya sendiri. Tugas yang makin rumit adalah memahami perasaan client yang samar dan memberikan makna yang makin jelas. Tugas terapis adalah membantu kesadaran client terhadap perasaan-perasaan yang dialami. Regers percaya bahwa apabila terapis mampu menjangkau dunia pribadi client sebagaimana dunia pribadi itu diamati dan dirasakan oleh client, tanpa kehilangan identitas dirinya yang terpisah dari client, maka perubahan yang konstruktif akan terjadi.
https://eko13.wordpress.com/2011/04/14/pendekatan-konseling-client-centred/
TUGAS PSIKOTERAPI II (Artikel 5)
Proses terapeutik meliputi tiga tahap, yaitu;
- Terapis membantu klien dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka terhadap dunia. Klien diajak mendefinisikan cara pandang agar eksistensi mereka diterima. Terapis mengajarkan mereka bercermin pada eksistensi mereka dan meneliti peran mereka dalam hal penciptaan masalah dalam kehidupan mereka.
- Klien didorong agar bersemangat untuk lebih dalam meneliti sumber dan otoritas dari sistem mereka. Semangat ini akan memberikan klien pemahaman baru dan restrukturisasi nilai dan sikap mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan dianggap pantas.
- Berfokus pada untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka pelajari tentang diri mereka. Klien didorong untuk mengaplikasikan nilai barunya dengan jalan yang kongkrit. Klien biasanya akan menemukan kekuatan untuk menjalani eksistensi kehidupannya yang memiliki tujuan
Tujuan dari terapi eksistensial humanistik, yaitu:
- Membantu individu menemukan nilai, makna, dan tujuan hidup manusia sendiri.
- Menyajikan kondisi-kondisi untuk memaksimalkan kesadaran diri dan pertumbuhan.
- Menghapus penghambat-penghambat aktualisasi potensi pribadi.
- Membantu klien menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dan bertanggung jawab atas arah kehidupan sendiri.
- Agar klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya. Terdapat tiga karakteristik dari keberadaan otentik: (1) menyadari sepenuhnya keadaan sekarang, (2) memilih bagaimana hidup pada saat sekarang, dan (3) memikul tanggung jawab untuk memilih.
PSIKOTERAPI TUGAS II (Artikel 4)
DASAR TEORI PSIKOANALISIS
Kesadaran
Secara harfiah, kesadaran sama artinya dengan mawas diri (awareness). Kesadaran juga bisa diartikan sebagai kondisi dimana seorang individu memiliki kendali penuh terhadap stimulus internal maupun stimulus eksternal. Namun, kesadaran juga mencakup dalam persepsi dan pemikiran yang secara samar-samar disadari oleh individu sehingga akhirnya perhatiannya terpusat.
Tingkat kehidupan mental menurut Freud terbagi dua tingkat:
A. Alam Tidak Sadar (unconscious)
Alam tidak sadar menjadi tempat bagi segala dorongan, desakan maupun insting yang tidak kita sadari tetapi ternyata mendorong perkataan, perasaan, dan tindakan kita.
Baginya, alam tidak sadar meruapakan penjelasan dari makna yang ada di balik mimpi, kesalahan ucap, dan berbagai jenis lupa, yang dikenal sebagai Represi. Mimpi adalah sumber yang kaya akan materi alam tidak sadar.
B. Alam Sadar (conscious)
Alam sadar didefinisikan sebagai elemen-elemen mental yang setiap saat berada dalam kesadaran. Ada dua pintu yang dapat dilalui oleh pikiran agar bisa masuk ke alam sadar.
Pintu pertama adalah melalui sistem kesadaran perseptual, yaitu terbuka pada dunia luar dan berfungsi sebagai perantara bagi persepsi kita tentang stimulus dari luar.
Sumber kedua bagi elemen sadar ini datang dari dalam struktur mental dan mencakup gagasan-gagasan tidak mengancam yang datang dari alam bawah sadar maupun gambaran-gambaran yang membuat cemas, tetapi terselubung dengan rapi yang berasal dari alam tidak sadar.
Struktur Kepribadian
Stuktur kepribadian menurut Freud terbagi dalam tiga, yaitu:
1. Id
Id merupakan inti dari kepribadian yang sepenuhnya tidak disadari. Id tidak punya kontak dengan dunia nyata, tetapi selalu berupaya untuk meredam ketegangan dengan cara memuaskan hasrat-hasrat dasar. Ini dikarenakan satu-satunya fungsi id adalah untuk memperoleh kepuasan sehingga kita menyebutnya sebagai prinsip kesenangan. Oleh karena sifatnya yang tidak realistis dan mencari kesenangan, id ini tidak logis dan mampu memuaskan pikiran-pikiran yang saling bertentangan dari dengan lainnya.
2. Ego
Ego adalah satu-satunya wilayah pikiran yang memiliki kontak dengan realita. Ego berkembang dari id semasa bayi dan menjadi satu-satunya sumber seseorang dalam berkomunikasi dengan dunia luar. Ego dikendalikan oleh prinsip kenyataan yang berusaha menggantikan prinsip kesenangan milik id. Sebagai satu-satunya wilayah dari pikiran yang berhubungan dengan dunia luar, maka ego pun mengambil peran eksekutif atau pengambil keputusan dari kepribadian. Akan tetapi, oleh karena ego sebagian bersifat sadar, sebagian bersifat bawah sadar, dan sebagian tidak lagi sadar, maka ego bisa membuat keputusan di ketiga tingkat tersebut.
3. Superego
Supergo mewakili aspek-aspek moral dan ideal dari kepribadian serta dikendalikan oleh prinsip-prinsip Moralisasi dan idelais yang berbeda dengan prinsip kesenangan dari id dan prinsip realistis dari ego. Super egi berkembang dari ego, dan seperti ego, ia tidak punya sumber energinya sendiri. Akan tetapi, Sukerejo berbeda dari ego dalam satu hal penting, superego todak punya kontak dengan dunia luar sehingga tuntutan superego akan kesempurnaan pun menjadi tidak realistis.
Mekanisme Pertahanan Ego
1. Represi
Represi muncul ketika ego terancam oleh dorongan-dorongan id yang tidak dikehendaki, ego melindungi dirinya dengan merepresi dorongan-dorongan tersebut dengan cara memaksa perasaan-perasaan mengancam masuk ke alam tidak sadar.
2. Pembentukan Reaksi
Salah satu cara agar dorongan yang ditekan tersebut bisa disadari adalah dengan cara menyembunyikan diri dalam selubung yang sama sekali bertentangan dengan bentuk semula, mekanisme pertahanan ini disebut dengan pembentukan reaksi.
3. Pengalihan
Mengarahkan dorongan-dorongan yang tidak sesuai pada sejumlah orang atau objek sehingga dorongan aslinya tersebut tersembunyi.
4. Fiksasi
Secara umum, pertumbuhan Psikis lazimnya bergerak secara kontinu melalui serangkaian tahap perkembangan. Akan tetapi, proses pendewasaan secara psikologis tidaklah bebas dari momen-momen yang penuh dengan stres maupun kecemasan. Jika melangkah ke tahap perkembangan lebih lanjut memunculkan kecemasan yang begitu besar, maka ego bisa mengambil strategi untuk tetap bertahan di tahap psikologis saat ini, yang lebih nyaman. Pertahanan seperti ini disebut fiksasi.
5. Regresi
Pada saat libido melewati tahap perkembangan tertentu, di masa-masa penuh stres dan kecemasan, libido bisa kembali ke tahap yang sebelumnya. Langkah mundur ini dikenal sebagai regresi.
6. Proyeksi
Proyeksi didefinisikan sebagai melihat dorongan atau perasaan orang lain yang tidak dapat diterima, padahal sebenarnya perasaan atau dorongan tersebut ada di alam tidak sadar sendiri.
7. Introyeksi
Introyeksi adalah mekanisme pertahanan di mana seseorang meleburkan sifat-sifat positif orang kain ke dalam egonya sendiri.
8. Sublimasi
Sublimasi merupakan Represi dari tujuan genital dari Eros dengan cara menggantinya ke hal-hal yang bisa diterima, baik secara kultural ataupun sosial.
Perkembangan Psikoseksual
1. Oral (lahir sampai 12-18 bulan)
Sumber kenikmatan bayi mencakup berbagai aktivitas yang berorientasi pada mulut (menghisap dan makan).
2. Anal (12-18 bulan sampai 3 tahun)
Anak mendapatkan keluasan sensual dari menahan dan mengeluarkan kotoran. Daerah kepuasannya adalah bagian anak, dan pelatihan toilet merupakan kegiatan yang penting.
3. Phalik (2 sampai 6 tahun)
Anak lekat dengan orang tua berbeda jenis kelamin dan kemudian melakukan indentifikasi dengan orang tua berjenis kelamin sama. Superego berkembang. Daerah kepuasan beralih ke daerah alat kelamin.
4. Latency (6 tahun sampai pubertas)
Waktu yang relatif tenang antara tahapan-tahapan yang lebih bergejolak.
5. Genital (pubertas sampai dewasa)
Munculnya kembali dorongan-dorongan seksual pada masa phalic, disalurkan ke seksualitas dewasa yang matang.
UNSUR-UNSUR TERAPI
Munculnya Masalah
Psikoanalisis sebagai teori dari psikoterapi berasal dari uraian Freud bahwa gejala neurotik lada seseorang timbul karena Tertahannya ketegangan emosi yang ada, ketegangan yang ada kaitannya dengan ingatan yang ditekan, ingatan mengenai hal-hal yang traumatik dari pengalaman seksual masa kecil.
Tujuan Terapi
Tujuan dari terapi psikoanalisis adalah untuk membentuk kembali struktur karakter individu dengan jalan membuat kesadaran yang tak disadari didalam diri klien dan fokus pada upaya mengalami kembali pengalaman masa kanak-kanak.
Peran Terapis
Peran terapis adalah berusaha untuk memahami klien sebagai sesuatu yang ada di dalam dunia ini.
TEKNIK TERAPI
1. Free Association
Asosiai bebas merupakan teknik utama dalam psikoanalisis. Terapis meminta klien agar membersihkan pikirannya dari pikiran-pikiran dan renungan-renungan sehari-hari serta sedapat mungkin mengatakan apa saja yang muncul dan melintas dalam pikirannya.
2. Analisis Tranference
Transferens dalam arti sebenarnya adalah suatu bentuk ingatan dari kejadian-kejadian yang telah dialami dan yang diulang kembali dalam keadaan sekarang atau yang akan datang. Pada saat seperti itu, pada saat pasien sedang menghubung-hubungan hambatan yang di alami dengan konflik yang terjadi di bawah sadar mengenai harapan-harapan terhadap seseorang atau beberapa orang yang muncul Dan menimbulksn kesan becampur-campur.
3. Analisis resistens
Resistensi adalah sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan mencegah klien mengemukakan bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas dan analisis mimpi, klien dapat menunjukkan ketidaksediaan untukmenghubungkan pikiran, perasaan, dan pengalaman tertentu.
4. Analisis Mimpi
Analisis mimpi adalah prosedur atau cara yang penting untuk mengungkap alam bawah sadar dan memberikan kepada klien pemahaman atas beberapa area masalah yang tidak terselesaikan. Selama tidur, pertahanan-pertahanan melemah, sehingga perasaan-perasaan yang dipres akan muncul ke permukaan, meski dalam bentuk lain. Freud memandang bahwa mimpi merupakan "jalan istimewa menuju ketidaksadaran", karena melalui mimpi tersebut hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan tak sadar dapat diungkapkan. Beberapa motivasi sangat tidak dapat diterima oleh seseorang,sehingga akhimya diungkapkan dalam bentuk yang disamarkan atau disimbolkan dalam bentuk yang berbeda.
Sumber
Prof. Dr. Singgih O. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi. 2004, Jakarta. PT BPK Gunung Mulia.
Feist, J. Feist, G. J. Teori Kepribadian. Jakarta. Salemba Humanika.
Papalia, D. E. Olds, S. W. Feldman, R. D. Human Development (Perkembangan Manusia). 2009. Jakarta. Salemba Humanika
http://atpsikologi.blogspot.com/2010/02/kesadaran.html?m=1
http://pasukananxiety.blogspot.com/2013/03/terapi-psikoanalisis-dan-humanistik.html?m=1
PAIKOTERAPI TUGAS II (Artikel 3)
Terapi person centered merupakan model terapi berpusat pribadi yang dipelopori dan dikembangkan oleh psikolog humanistis Carl R. Rogers. Ia memiliki pandangan dasar tentang manusia, yaitu bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat positif, makhluk yang optimis, penuh harapan, aktif, bertanggung jawab, memiliki potensi kreatif, bebas (tidak terikat oleh belenggu masa lalu), dan berorientasi ke masa yang akan datang dan selalu berusaha untuk melakukan self fullfillment (memenuhi kebutuhan dirinya sendiri untuk bisa beraktualisasi diri). Filosofi tentang manusia ini berimplikasi dan menjadi dasar pemikiran dalam praktek terapi person centered. Menurut Roger konsep inti terapi person centered adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri.
Berdasarkan sejarahnya, terapi yang dikembangkan Rogers ini mengalami beberapa perkembangan. Pada mulanya dia mengembangkan pendekatan konseling yang disebut non-directive counseling (1940). Pendekatan ini sebagai reaksi terhadap teori-teori konseling yang berkembang saat itu yang terlalu berorientasi pada konselor atau directive counseling dan terlalu tradisional. Pada 1951 Rogers mengubah namanya menjadi client-centered therapy sehubungan dengan perubahan pandangan tentang konseling yang menekankan pada upaya reflektif terhadap perasaan klien. Kemudian pada 1957 Rogers mengubah sekali lagi pendekatannya menjadi konseling yang berpusat pada person (person centred therapy), yang memandang klien sebagai partner dan perlu adanya keserasian pengalaman baik pada klien maupun terapis. Terapi ini memperoleh sambutan positif dari kalangan ilmuwan maupun praktisi, sehingga dapat berkembang secara pesat. Hingga saat ini, terapi ini masih relevan untuk dipelajari dan diterapkan.
Pendekatan terapi person centered menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Terapi ini berfokus pada bagaimana membantu dan mengarahkan klien pada pengaktualisasian diri untuk dapat mengatasi permasalahannya dan mencapai kebahagiaan atau mengarahkan individu tersebut menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakekat kecemasan.
Terapi ini cocok untuk orang-orang dengan masalah psikologis yang ada ketidakbahagiaan dalam dirinya, mereka biasanya akan mengalami masalah emosional dalam hubungan dikehidupannya, sehingga menjadi orang yang tidak berfungsi sepenuhnya. Contohnya orang-orang yang merasakan penolakan dan pengucilan dari yang lain, pengasingan yakni orang yang tidak memperoleh penghargaan secara positif dari orang lain, ketidakselarasan antara pengalaman dan self (tidak kongruensi), mengalami kecemasan yang ditunjukkan oleh ketidakkonsistenan mengenai konsep dirinya, defensive, dan berperilaku yang salah penyesuaiannya.
Sumber:
https://nurainiajeeng.wordpress.com/2013/03/30/person-centered-therapy/
PSIKOTERAPI TUGAS II (Artikel 2)
Istilah psikologi humanistik (Humanistic Psychology) diperkenalkan oleh sekelompok ahli psikologi yang pada awal tahun 1960-an bekerja sama di bawah kepemimpinan Abraham Maslow dalam mencari alternatif dari dua teori yang sangat berpengaruh atas pemikiran intelektual dalam psikologi. Kedua teori yang dimaksud adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Maslow menyebut psikologi humanistik sebagai “kekuatan ketiga” (a third force).
Teori eksistensial-humanistik menekankan renungan filosofi tentang apa artinya menjadi manusia. Banyak para ahli psikologi yang berorientasi eksistensial,mengajukan argumen menentang pembatasan studi tingkah laku pada metode-metode yang digunakan oleh ilmu alam.
Terapi eksistensial berpijak pada premis bahwa manusia tidak bisa lari dari kebebasan dan bahwa kebebasan dan tanggung jawab berkaitan. Dalam penerapan-penerapan terapeutiknya eksistensial-humanistik memusatkan perhatian pada filosofis yang melandasi terapi. Pendekatan atau teori eksistensial-humanistik menyajikan suatu landasan filosofis bagi orang berhubungan dengan sesama yang menjadi ciri khas, kebutuhan yang unik dan menjadi tujuan konselingnya, dan yang melalui implikasi-implikasi bagi usaha membantu dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan dasar yang menyangkut keberadaan manusia.
Pendekatan Eksistensial-humanistik berfokus pada diri manusia. Pendekatan ini mengutamakan suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia. Pendekatan Eksistensial-Humanistik dalam konseling menggunakan sistem tehnik-tehnik yang bertujuan untuk mempengaruhi konseli. Pendekatan terapi eksistensial-humanistik bukan merupakan terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang manusia.
Sumber:
https://deathneverlost.wordpress.com/2014/05/21/terapi-humanistik-eksistensial/
PSIKOTERAPI TUGAS II (Artikel 1)
PSIKOTERAPI TUGAS II (Artikel 1)
Terapi Psikoanalisis
Psikoanalisis adalah suatu sistem dalam psikologi yang berasal dari penemuan-penemuan Freud dan menjadi dasar dalam teori psikologi yang berhubungan dengan gangguan kepribadian dan perilaku neurotik. Psikoanalisis memandang kejiwaan manusia sebagai ekspresi dari adanya dorongan-dorongan yang menimbulkan konflik. Dorongan-dorongan ini sebagian disadari dan sebagian besar lagi tidak disadari. Konflik timbul karena ada dorongan-dorongan yang saling bertentangan, sebagian manifestasi dari kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial didampingi biologis. Berfungsinya aspek psikis karena itu ada kaitannya dengan nilai-nilai yang ada di lingkungan, yang pada psikoanalisis memandang lingkungan keluarga sebagai sumber utama dan aspek-aspek yang ada kaitannya dengan tubuhnya.
Psikoanalisis sebagian teori dari psikoterapi berasal dari uraian Freud bahwa gejala neurotik lada seseorang timbul karena tertahannya ketegangan emosi yang ada, ketegangan yang ada kaitannya dengan ingatan yang ditekan, ingatan mengenai hal-hal traumatik dari pengalaman seksual pada masa kecil. Semula dipergunakan teknik hipnosis, namun setelah diketahui bahwa tidak bisa dilakukan terhadap semua orang, Freud kemudian menggunakan asosiasi bebas. Dengan asosiasi bebas, pasien bebas untuk mengemukakan segala hal yang ingin dikemukakan termasuk yang tadinya ditekan di bawah-sadarnya, tanpa di hambat atau di kritik. Namun timbul masalah lain karena dalam kenyataannya tidak semudah yang disangka, sehubungan dengan adanya rasa bersalah mekanisme pertahanan diri yang tentunya bisa menghambat pelaksanaan asosiasi bebas. Teknik dasar melakukan psikoanalisis adalah meminta pasien berbaring di dipan khusus dan psikoanalisis duduk di belakang pasien, jadi posisi pasien menghadap ke arah lain, tidak bertatapan dengan psikoanalisisnya. Pasien diminta untuk mengemukakan apa yang muncul dalam pikirannya dengan bebas, tanpa merasa terhambat, tertahan dan tanpa harus memilih mana yang dianggap penting atau tidak penting. Psikoanalisis yang duduk di belakang dipan khusus, lada dasarnya hanya mendengarkan tanpa menilai atau memberi kritik yang memperlihatkan sikap ingin mengetahui lebih banyak tentang pasien. Namun pada saat-saat tertentu, psikoanalisis memotong asosiasi bebas yang sedang dikemukakan oleh pasien, bilamana dianggap penting untuk memperjelas hubungan-hubungan antara asosiai-asosiasi satu sama lain, misalnya yang ada kaitannya dengan mimpi-mimpi yang dialami. Proses selanjutnya berlangsung seperti format psikoterapi biasa yang selalu didahului dengan tahap pembukaan untuk mengetahui berbagai hal mengenai pasien, antara lain melalui wawancara pendahuluan yang dilakukan secara tatap muka. Dari psikoanalisis yang berlangsung, hal uang penting ialah masalah tranferens. Transferens dalam arti sebenarnya adalah suatu bentuk ingatan dari kejadian-kejadian yang telah dialami dan yang diulang kembali dalam keadaan sekarang atau yang akan datang. Pada saat seperti itu, pada saat pasien sedang menghubung-hubungkan hambatan yang dialami dengan konflik yang terjadi di bawah sadar mengenai harapan-harapan terhadap seseorang atau beberapa orang yang penting dalam hidupnya, gejala baru akan muncul dan menimbulkan kesan bercampur-baur, antara lain karena kejadian psikoanalisisnya. Inilah saat-saat kritis, karena pasien harus menghadapi hal-hal yang idealistis sesuai dengan yang diinginkan, namun ia harus menghadapi kenyataan sebagai sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi. Psikoanalisis harus tetap bertindak sebagai profesional dan bukan sebagai pribadi, agar menghindari kemungkinan terjadinya "counter-transference". Atas dasar inilah antara lain ditentukan sebagai psikoanalisis, seseorang harus menjalani dulu analisis yang dilakukan oleh psikoanalisis yang berkompeten. Bahkan dikatakan bahwa keberhasilan seseorang bertindak sebagai psikoanalisis, banyak ditentukan oleh keadaan pada waktu ia sendiri menjalani psikoanalisisnya.
Sumber:
Prof. Dr. Singgih O. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi 2004, Jakarta. PT BPK Gunung Mulia.