MARAKNYA SADISME DI SEKITAR KITA
Maraknya Sadisme di Sekitar Kita
SAAT ini mestinya adalah waktu yang tepat bagi para ahli beragam profesi, apakah itu psikolog, psikiater, sosiolog, novelis, ataupun ahli hukum, untuk mengabadikan pandangan-pandangan maupun imajinasinya mengenai sadisme alias kebrutalan di sekitar kita dalam bentuk buku.Betapa tidak? Hanya dalam rentang waktu beberapa bulan, kita disuguhi beragam laporan berita yang mengerikan. Ada seorang suami (Hermanto) membunuh istrinya sendiri, Aisyah Susan Sieh, secara sadis di Jakarta, Juni lalu. Masih di Jakarta, seorang petugas keamanan, Nendi Suhendi, membunuh mantan pejabat Departemen Keuangan, Hamonangan Hutabarat (70), berikut istri dan pembantu perempuannya.
Di Surabaya, Yanuar Stefanus (37), seorang laki-laki keturunan Tionghoa, menggorok istri dan kedua anaknya yang masih balita hingga tewas, sebelum membunuh diri dengan pisau mautnya itu (Suara Merdeka, 26/09/2008). Masih banyak lagi kasus pembunuhan sadis lainnya. Di antara semua itu, kasus Ryan kiranya paling menggegerkan. Dalam kurun waktu setahun, lelaki kemayu asal Jombang, Jawa Timur, ini setidaknya telah membunuh 11 orang secara berantai di Jakarta dan Jombang. Sekarang kasusnya masih dalam proses penyelidikan aparat kepolisian di DKI Jakarta dan Jawa Timur.
Banyak orang bertanya, fenomena apa ini? Laporan-laporan menunjukkan, umumnya pembunuhan itu bermotif uang atau harta. Persoalannya, mengapa manusia bisa begitu jahat dan sangat brutal? Pertanyaan ini sudah lama menjadi kajian menarik, termasuk para sineas yang mengangkatnya dalam cerita-cerita film.
Dalam film The Good Man, misalnya, sutradara Joseph Ruben mencoba mengemas cerita seorang anak berwajah polos yang mempunyai karakter sadis. Dalam film garapan itu dilukiskan, iblis bisa menjelma menjadi apa saja, termasuk menjadi seorang bocah. Dilukiskan, bocah bernama Henry (diperankan Macaulay Culkin) itu tidak hanya tega membunuh seorang temannya, berusaha menghabisi sepupunya dan beberapa teman lainnya, tetapi juga mengincar nyawa ibunya, Susan. Henry akhirnya mati di jurang saat akan membunuh Mark sepupunya.
Dalam Encyclopedia of Murder (1961), kita bisa menemukan ratusan kasus pembunuhan sadistis, khususnya di AS dan Eropa, namun tak ada pembahasan tentang sebab-musababnya. Di antara kasus itu pelakunya adalah orang militer aktif maupun pensiunan. Korbannya ada yang mencapai puluhan orang.
Sebagian kasus lainnya dikategorikan rumit, sehingga tidak terungkap meski polisi telah memburunya selama bertahun-tahun. Salah satu kasus terbesar adalah The Thames Nude Murders di London, antara Juni 1959 hingga Februari 1965. Pembunuhnya dikenal dengan julukan Jack the Stripper, dan korbannya kebanyakan pelacur. Rumor yang beredar sempat menuduh mantan petinju Freddie Mills, yang kemudian mati. Tetapi sang pembunuh berantai itu tetap misteri hingga kini, begitu ditulis dalam buku The Book of Lists 2 karya Irving Wallace dkk.
Dari buku-buku sejarah kita juga tahu betapa pembunuh berdarah dingin, baik yang berlatar belakang masalah pribadi, dendam kesumat pribadi, kelompok, maupun politik, bisa menggunakan kedok bermacam-macam termasuk agama. Papa Doc Duvalier, penguasa Haiti 1950-an hingga awal 1970-an, dilukiskan sebagai dokter yang suka mengenakan jubah pendeta, berkomat-kamit dengan rosario di tangan, dan mengutip Injil. Tetapi tak terhitung berapa rakyat Haiti yang mati bersimbah darah karena perintah Papa Doc, yang kemudian digantikan anaknya, Baby Doc Duvalier.
Akar Kekerasan Kekerasan dengan banyak simbahan darah juga terjadi di kelompok-kelompok masyarakat di negeri ini, yang dilukiskan sebagai masyarakat yang lemah lembut dan ramah tamah. Pembunuhan massal akibat dendam politik juga terjadi pada pertengahan 1960-an di Jawa, misalnya, bahkan juga di Bali yang sering dilukiskan sebagai masyarakat penuh harmoni. Mengherankan memang. Tetapi mungkin karena ’’aneh’’ itulah Eric Fromm (1900-1980), seorang ahli psikoanalisa sampai mengambil contoh kasus di Indonesia itu untuk dimasukkan di dalam bukunya yang istimewa, The Anatomy of Human Destructiveness, yang terbit pertama kali pada 1973.
Dalam bukunya, Eric Fromm membahas secara detial akar kekerasan. Ia menjelaskan mulai instingtivisme, behaviorisme, dan psikoanalisis, tentang konsep agresi Sigmund Freud dan teori Konrad Lorenz. Ia juga membahas bukti-bukti yang menentang tesis instingtivis, yang menyokong pandangan bahwa orang itu sadis sudah dari sononya.
Dibahas pula secara luas premis-premis tentang agresi jahat, termasuk kekejaman dan kedestruktifan. Ada kedestruktifan nyata, kedestruktifan kesumat, dan ada pula kedestruktifan ekstatik. Ia juga memberi contoh karakter destruktif dalam bentuk sadisme.
Namun penjelasan yang paling menarik barangkali adalah tentang kondisi-kondisi yang membangkitkan sadisme. Apa saja faktor yang kondusif bagi perkembangan sadisme? Eric Fromm mengatakan, jawabnya masih terlalu pelik. Meski begitu, ada satu hal yang telah jelas sejak awal: tidak ada hubungan sederhana antara lingkungan dan karakter seseorang.
Mengapa? Jawabnya, karena karakter individu ditentukan oleh faktor-faktor perseorangan, semisal kecenderungan yang berlaku secara melembaga, kekhasan kehidupan keluarga, dan peristiwa-peristiwa luar biasa dalam kehidupannya. Bukan hanya faktor-faktor perseorangan ini yang dapat memainkan peranan; faktor-faktor lingkungan juga lebih rumit ketimbang yang kita duga.
Suatu masyarakat bukanlah ’’satu’’ masyarakat. Suatu masyarakat merupakan sistem yang rumit; ada kelas bawah yang kolot dan modern, kelas menengah, kelas atas, elite penguasa yang busuk, kelompok-kelompok dengan atau tanpa tradisi religi atau ajaran moral-filsafat, bahkan ada pula masyarakat kota kecil dan kota besar. Semuanya itu baru sebagian faktor yang perlu dipertimbangkan.
Tentang faktor-faktor individu yang meningkatkan sadisme, menurut Eric Fromm, adalah semua kondisi yang cenderung membuat anak-anak atau orang dewasa merasa kesepian dan tidak berdaya. Anak yang tak sadis bisa saja kelak menjadi remaja atau orang dewasa yang sadis, jika ada perubahan situasi tertentu.
Kondisi lain adalah situasi kehampaan jiwa. Jika tidak ada stimuli, tidak akan ada yang dapat membangkitkan kecakapan si anak. Jika ada situasi yang menjemukan dan tidak menyenangkan, si anak akan menjadi pribadi dingin. Hal itu karena tidak ada sarana yang tepat untuk menyalurkan kecakapannya, tidak ada orang yang mau menanggapi atau bahkan mendengar keluhannya. Si anak dibiarkan memendam rasa ketidakberdayaan dan ketidakmampuan.
Ketidakberdayaan memang tidak selalu membentuk karakter sadistik; benar-tidaknya ini tergantung pada banyak faktor. ’’Meskipun demikian, hal ini merupakan salah satu sumber utama yang memberi sumbangsih bagi perkembangan sadisme, baik secara individu maupun sosial,’’ kata Eric Fromm.
Sebuah peringatan bagi kita, setidaknya kita bisa mencegah timbulnya sadisme di lingkungan keluarga kita sendiri. Seperti pesan sentral film The Good Man, bisa saja anak-anak kita menjadi the sleeping enemies. Kita mesti mencegah kemungkinan timbulnya Henry-Henry lain dari keluarga kita. (32)
Menurut saya kenapa kasus ini pas dengan teori Fromm seperti yang telah di bahas di atas karakter individu selain ditentukan oleh individu itu sendiri juga di pengaruhi oleh lingkungan sekitarnya (masyarakatnya). Fromm membagi sistem struktur masyarakat ke dalam 3 bagian yaitu 1)bagian A, masyarakat yang pencinta kehidupan. 2)bagian B, masyarakat non-destruktif-agresif. 3)bagian C, yaitu masyarakat destruktif. Jika seseorang hidup di lingkungan masyarakat bagian B dan C maka kemungkinan besar akan mempengaruhi kepribadian orang itu sendiri.
Selain itu juga Fromm menjelaskan ada dua makna untuk memperoleh makna dan kebersamaan dalam kehidupan, yaitu: 1)Mencapai kebebasan positif dengan menyatu dengan orang lain. 2)Memperoleh rasa aman dengan meninggalkan kebebasan dan menyerahkan bulat-bulat individualitas dan interheritas diri kepada sesuatu yang dapat memberi rasa aman. Orang yang melakukan sadisme sudah pasti tidak bisa menyatu dengan orang lain, dia lebih sering berdiam diri, dan dia memperoleh rasa amannya itu dengan cara dia melakukan sadisme terhadap orang lain. Orang seperti ini melakukan mekanisme pertahanan destruktivness (perusakan) yang berakar dari kesepian, isolasi dari dunia luar. Orang yg melakukan destruktivness tidak membangun hubungan dengan pihak luar dan mendapatkan kekuatannya itu melalui usaha untuk membalas/merusak kekuatan orang lain